BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Disaat seorang akan berkeluarga,
yang terbayang dibenaknya adalah terwujudnya keluarga sakinah, keluarga bahagia
yang tentram, damai dan harmonis. Manusia yang ingin berkeluarga harus melalui
perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai makhluk
sosial, mungkin tak jarang kita temui dikota Kendari sebagai anak remaja yang
frustasi atau depresi karena beragam masalah yang muncul dengan alasan, faktor
utama adalah orang tua. Sebagai remaja, tentunya kita tak asing lagi dengan
kata “Broken Home” atau keluarga yang
tidak harmonis. Kata inilah yang biasanya menyelimuti rasa takut para remaja
saat ini, ketika kedua orang tua mereka sedang berbeda pendapat atau berselisih
paham.
Istilah
"broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang
berantakan akibat orang tua kita tak lagi peduli dengan situasi dan keadaan
keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik
masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak di
masyarakat. Namun, broken home bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang
tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan
sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan
pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi inii menimbulkan dampak yang
sangat besar terutama bagi anak-anak. Bisa saja anak menjadi murung, sedih yang
berkepanjangan, dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta
panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan.
Selain itu Broken
Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari
orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan
susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang pelajar
hal inilah yang mengakibatkan seorang pelajar tidak mempunyai minat untuk
berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam sekolah
mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas mereka selalu
berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena mereka ingin cari
simpati pada teman-teman mereka bahkan pada guru-guru mereka. Untuk menyikapi
hal semacam ini perlu diberikan perhatian dan pengerahan yang khusus agar mereka
sadar dan mau berprestasi.
Maka remaja
merupakan masa dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan
menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa
peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan
yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan
perhatian dan bantuandari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama
orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah diketahui bahwa fungsi keluarga
adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya
remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut.
Menurut WHO remaja
adalah suatu masa ketika individu berkembang dari menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan
psikologis danpola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta peralihan
dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative
lebih mandiri.
Orang tua sekarang
ini hanya memberikan kebutuhan materi kepada anaknya, sehingga mereka menjadi
pribadi yang tidak lengkap. Hal ini dimungkinkan oleh kesibukan-kesibukan orang
tua terutama yang berdiam di kota Kendari dan atau ketidaktahuan orang tua
dalam mendidik anak. Sebaliknya orang tua yang bermukim di pedesaan mereka
banyak yang berpendidikan rendah dengan bekerja sebagai buruh tani, buruh
pabrik dan buruh bangunan. Penghasilan mereka sangat minim sekali, sehingga
untuk mencukupi kebutuhan keluarga sangat kurang. Hal seperti itu mengakibatkan
keluarga mereka selalu ada pertengkaran (kurang harmonis) dan akhirnya
anak-anak mereka kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua.
Dengan demikian
menujukkan betapa pentingnya situasi dan kondisi kehidupan dalam keluarga. Anak
yang berlatar belakang dari keluarga yang berhubungan akrab, penuh kasih sayang
dan menerapkan disiplin berdasarkan kecintaan. Anak atau remaja yang berasal
dari keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih
banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengekspresikan
perasaan, lebih penakut dan lebih sulit mengontrol dari pada anak dari keluarga
utuh.
Selain sekolah dan
masyarakat, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pendidikan. Karena lembaga pendidikan keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima
pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota keluarga lainnya. Untuk
itu dalam Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga
sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu
yang disebut baligh berakal.
Sebenarnya yang
banyak terjadi dalam konflik keluarga adalah mereka yang mengalami kesulitan,
ketidak harmonisan dalam keluarga atau kehilangan kebahagiaan. Tentunya sebab
ketidakbahagiaan itu bermacam-macam pula, ada yang disebabkan oleh karena
kehilangan kesetiaan salah seorang suami atau istri. Dalam hal ini istrilah
yang banyak menderita, karena merasa suaminya tidak setia lagi kepadanya.
Dalam segi pendidikan anak pun sangat
berpengaruh, kehilangan jati diri yang membuat anak stres dengan konflik intern
keluarganya sehingga prestasi dalam sekolahnya pun mengalami penurunan baik
akademik maupun non akademik.
Melihat kedua orang tuanya sering bertangkar
dihadapannya dan hidup dalam keluarga yang tidak nyaman membuat siswa tersebut
kehilangan semangat dalam hidupnya. Ia akan merasa impian dan harapan yang
sudah ia rencanakan hilang begitu saja. Tentang hasil belajar, hal ini
sangat penting disampaikan, karena prestasi belajar merupakan indikator sebagai
tingkat keberhasilan seorang siswa atau anak didik setelah mengikuti proses
belajar mengajar, bahwa prestasi belajar itu merupakan hasil yang dicapai atau
hasil yang sebenarnya dicapai. Disekolah siswa korban keluarga broken home
sering diindikasikan dengan memperlihatkan prilaku malas, bolos dan tidak
memiliki niat untuk belajar. Bagi guru persoalan siswa jenis ini sangat sulit
untuk bisa membangkitkan bakanya apalagi jika guru sama sekali tidak memahami
latar belakang siswa.
1.2
Rumusan Masalah
Berawal
dari latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
kondisi keluarga broken home siswa ?
b.
Bagaimana prilaku anak keluarga broken home dimasyarakat ?
1.3
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.
Untuk menganalisis bagaimana kondisi keluarga broken
home siswa ?
b.
Untuk menganalisis bagaimana karakter anak
keluarga broken home disekolah
?
1.4
Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dari hasil penelitian, meliputi ?
a. Manfaat praktis
1.
Menjadi
bahan masukan kepada guru dan orang tua dalam mengontrol perkembangan psikologi
anak yang dapat dipengaruhi oleh factor dari luar dirinya untuk menjaga minat
dan potensinya.
2.
Sebagai
input untuk sekolah dalam mendidik dan membantu anak dari keluarga broken home.
b.
Manfaat
teoritis, diharapkan melalui penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dalam bidang pendidikan karena temuan dalam penelitian ini adalah
temuan yang telah didukung oleh kerangka teoritis dan fakta empiris yang diuji
dengan metode ilmiah. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat digunakan
sebagai bahan informasi dan bahan rujukan bagi peneliti yang melakukan
penelitian yang relevan dikemudian hari.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Awal Mula Keluarga Broken Home
Broken home diartikan dengan kondisi keluarga yang
tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan
sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan
pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Yang dimaksud keluarga pecah (broken
home) dapat dilihat dari dua aspek: (1) keluarga itu terpecah karena
strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau
telah bercerai, (2) orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak
utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan atau tidak
memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar
sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Dari keluarga yang
digambarkan diatas, akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian,
sehingga perilakunya sering salahsuai. Mereka mengalami gangguan emosional dan
bahkan neurotic. (Willis, 2008:66)
Keadaan rumah tangga yang berantakan dapat membawa
pengaruh psikologis buruk bagi perkembangan mental dan pendidikan anak. Karena
dasar pribadi anak terutama dibentuk dalam lingkungan keluarga. Jika kehilangan
salah satu dari kedua orang tua atau kehilangan keduannya karena meninggal
maupun bercerai dan lain- lainnya, menyebabkan anak kehilangan contoh model
orang dewasa. Kehilangan kasih sayang, kehilangan pendidik atau pemimbing yang
sangat ia butuhkan. Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan
remaja, di mana terutama
perceraian
atau perpisahan orang
tua memengaruhi perkembangan si anak. Keadaan yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya
“broken home semu” atau quasi broken home, yaitu
kondisi dimana kedua orang tuanya masing utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga (ayah dan ibu)
memunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya
terhadap pendidikan
anak-anaknya. Dalam situasi keluarga yang demikian
anak
muda mengalami
frustasi,
mengalami konflik-konflik
psikologis,
sehingga keadaan ini juga dapat dengan mudah mendorong anak menjadi delinkuen. (Sudarsono,
2004:
126)
Tim peneliti dari Newcastle University mengatakan, "Gadis yang dalam awal tahun
hidupnya terpisah dari ibunya,
rata-rata
menikah
dua tahun lebih
cepat ketimbang
mereka
yang berasal dari
keluarga
harmonis.
Sedangkan gadis
yang
kurang dekat atau
harus berjauhan dengan ayahnya, biasanya memulai hidup berumah
tangga setahun lebih awal". 1
Lebih lanjut dipaparkan oleh Marieke van de Rakt melalui hasil penelitiannya bahwa "Setiap tahun seorang anak punya peluang sekitar 1% untuk melakukan sesuatu yang kurang baik. Kalau orang tuanya bercerai, kemungkinan itu meningkat tiga kali lipat.
Dengan kata lain, seorang anak punya peluang 3% untuk melakukan sesuatu yang tidak
baik,
penyebabnya
bermacam-macam faktor. Namun yang jelas,
suatu
perceraian sangat berdampak pada kehidupan sebuah rumah tangga akibat suasana
yang tidak
tentram, emosi anak-anak
sering terganggu”. Dari informasi-informasi tersebut kiranya makin jelas bahwa keharmonisan
keluarga mempuyai peranan yang sangat dominan dalam pembentukan kepribadian
sang anak. Tetapi kenyataannya kondisi keluarga
broken home kerap sulit
dihindarkan
ketika konflik
dalam rumah tangga terjadi.
Menurut
Willis
dalam
bukunya
yang berjudul Konseling Keluarga
(Family Counseling), adapun konflik yang dapat menyebabkan
kondisi broken home diantaranya:

1.
Kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama ayah
dan ibu
Dalam hal ini, faktor kesibukan yang sering menjadi penyebab utama.
Ayah dan ibu sibuk bekerja hingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk
anaknya mereka tidak punya
waktu untuk makan
siang
bersama, shalat
berjamaah dirumah di mana ayah
menjadi imam,
sedang anggota menjadi
jamaah. Di meja makan dan di tempat shalat berjamaah, banyak hal yang bisa ditanyakan ayah atau ibu kepada anak-anak seperti pelajaran sekolah, teman di sekolah, kesedihan dan
kesenangan yang dialami anak. Dan anak-anak
akan
mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran-pemikirannya tentang
kebaikan keluarga, termasuk kritik terhadap orang tua mereka. Namun yang
sering terjadi adalah orang tua terlalu sibuk dengan urusannya dan tiba di
rumah dengan
keadaan lelah. Hal tersebut tentu membuat orang tua tidak
mempunyai kesempatan
untuk berdiskusi dengan
anak-anaknya. lama
kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, dan memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu yang
membahayakan dirinya. (Willis,
2008:14)

Olson berpendapat bahwa komunikasi interpersonal dalam keluarga
mengandung beberapa aspek
keterampilan yaitu :
a. Aspek keterampilan mendengar
atau
listening skills, yaitu meliputi kemampuan
berempati dan mendengar
dengan penuh
perhatian
b. Aspek keterampilan berbicara
atau
speaking skills,
yaitu
meliputi berbicara
untuk diri sendiri dan
tidak untuk
berbicara untuk orang lain.
c. Keterbukaan diri atau self disclosure
d. Aspek kejelasan atau Clarity
e. Aspek kontinuitas atau continuity tracking, yaitu kemampuan seseorang
untuk tetap bertahan
dalam suatu
topik
pembicaraan
f. Aspek respek
atau
respect
g.
Aspek hormat atau regard

2. Sikap egosentrisme
Sikap egosentrisme masing-masing suami isteri merupakan penyebab
pula
terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran yang
terus menerus. Egoism adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan
diri
sendiri. Yang lebih berbahaya lagi adalah sifat egosentrisme, yaitu sifat
yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan seseorang dengan segala cara. Bagi tipe orang seperti ini, orang
lain
dianggap tidak penting. Dia
hanya mementingkan diri
sendiri,
dan
hanya memikirkan bagaimana
agar orang lain
mau mengikuti apa yang dikehendakinya.
3. Masalah
ekonomi
Rumah tangga akan berjalan stabil dan harmonis bila didukung oleh kecukupan dan kebutuhan hidup,
segala keperluan
dan kebutuhan
rumah tangga dapat stabil bila telah terpenuhi keperluan hidup (ekonomi). Membina
dan
mengayuh bahtera rumah tangga tidak sebatas memodalkan cinta dan
kasih sayang namun faktor ekonomi mempunya
pengaruh. Sehingga terjadi problema rumah tangga, faktor dominan adalah masalah ekonomi, dimana pihak suami tidak mampu
mencukupi kebutuhan rumah tangga, padahal
pemenuhan biaya hidup
merupakan hal yang prinsip.
Kestabilan ekonomi atau biaya hidup keluarga tidak bisa diremehkan,
atau
hanya bersikap pasrah dan menerima apa adanya. Apalagi ia merupakan
penunjang dan penentu terwujudnya
keluarga sakinah. Tidak sedikit basis gagalnya menciptakan rumah tangga sakinah dan bahkan menjadi retak serta berantakan dikarenakan kondisi ekonomi dalam rumah tangga tersebut kurang
stabil.
Dalam hal ini ada dua penyebab masalah ekonomi,
yaitu:
a. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
terhadap kondisi keluarga broken home. Hal ini timbul karena kondisi emosional keluarga yang
tidak
dewasa
dalam
menghadapi masalah, dikarenakan bagian
dari
keluarga
tersebut menuntut
hal-hal diluar
kebutuhan rumah tangga mereka sedangkan suami tidak dapat memenuhi
tuntutan dari istri dan anak – anaknya sehingga pertengkaran suami istri
terjadi dan timbullah konflik yang menggangu keharmonisan di dalam keluarga tersebut.
c. Gaya hidup
Berbeda dengan
keluarga miskin,
maka keluarga kaya lebih mengedepankan gaya hidup internasional, serba
mewah dan mengikuti mode dunia. Namun gaya hidup tersebut tidak selalu disukai oleh kedua belah pihak. Terkadang tidak semua suami menyukai gaya hidup glamour
ataupun sebaliknya.
Disinilah awal
pertentangan suami istri dan
pada
akhirnya pertengkaran tersebut dapat menimbulkan krisis dalam keluarga.
(Willis,
2008:16)

Howard markman, direktur pusat penelitian perkawinan dan keluarga di universitas Denver, Amerika, berpendapat bahwa uang merupakan masalah nomor satu yang sering dipertengkarkan para pasangan suami istri. Itu berarti
setiap
keluarga
entah kelompok
yang
berkelimpahan atau
yang berpenghasilannya
pas-pasan,
selalu
rawan terhadap perselisihan gara-gara
uang.
4. Masalah
kesibukan
Kesibukan yang
dimaksud adalah terfokusnya suami istri
dalam pencarian materi yaitu harta dan uang. (Willis, 2008:18 ) Setiap pasangan
mulai mempunyai kesibukan masing-masing, berupa pekerjaan yang seakan-
akan
tidak ada
habisnya. Hampir
keseluruhan
energi dihabiskan
ditempat kerja. Hampir separuh waktu dihabiskan diluar jam keluarga dan kelelahan setiba dirumah juga digunakan untuk beristirahat sehingga perhatian terhadap
keluarga menjadi berkurang.
5. Masalah
pendidikan
Masalah pendidikan
merupakan penyebab
terjadinya krisis
dalam keluarga. Jika kedua belah pihak memiliki pendidikan yang memadai, maka wawasan tentang kehidupan
keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami-istri yang pendidikannya rendah sering tidak
dapat memahami dan
mengatasi liku-liku
keluarga, karena itu
yang
sering
terjadi
adalah saling
menyalahkan bila terjadi persoalan dalam keluarga. Terkadang konflik akan sulit diselesaikan apabila masing- masing dari komponen keluarga memiliki
pengetahuan yang
minim
mengenai
cara
bagaimana
menjaga
hubungan dengan
baik dalam sebuah keluarga.

6. Masalah
perselingkuhan
Pada dasarnya, perkawinan merupakan aktivitas yang dilakukan oleh
suami dan
istri. Oleh karena itu, dalam perkawinan mereka mempunyai tujuan
yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga
dikatakan
bahagia
apabila
dalam
keluarga
itu tidak terjadi konflik
terus menerus atau ketegangan-ketegangan yang dapat menimbulkan pertengkaran-
pertengkaran, sehingga
keluarga berjalan
"smooth"
tanpa goncangan
goncangan yang berarti (free from quarelling).
7. Jauh
dari agama
Agama merupakan
pondasi yang
dapat mengontrol perilaku seseorang. Dengan berpegang teguh pada agama, maka orang tersebut dapat mebedakan
mana
yang baik dan
mana
yang buruk. Tetapi sebaliknya, apabila individu-
individu di dalam sebuah keluarga jauh dari agama, maka hal-hal negatif akan
lebih rawan terjadi. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga.

Disamping itu, penyebab lain timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
1. Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan
kehidupan keluarga yang harmonis.
Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak
sedemikian
rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan
yang makin melebar dan menjauh
ke dalam dunianya sendiri. jadi
ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan
yang intim lagi.
2. Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota
keluarga.
Problem yang
muncul
dalam
kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling
mengenal dan dalam situasi yang
perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang
tanpa dialog dan
komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel
dalam jiwa anak-anak.
Bila
orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan
komunikasi dalam
arti
yang sungguh
yaitu bukan basa
basi atau sekedar
bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan
kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang
sama dialog mempunyai peranan
yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam
masa kanak-kanak
dan masa berikutnya, karena orangtua
terlalu
menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih
diabaikan.
Akibatnya anak menjadi terlantar dalam
kesendirian
dan kebisuannya. Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh
kemanusiaan
anak.
3. Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan
perang
dingin adalah lebih beratnya dari pada
kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog
juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak.
Awal
perang
dingin dapat disebabkan
karena suami
mau
memenangkan
pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan
kehendaknya sendiri. Suasana perang
dingin dapat menimbulkan
:
a. Rasa takut dan cemas pada anak-anak
b. Anak-anak
menjadi tidak betah
dirumah
sebab merasa tertekan
dan
bingung serta tegang
c. Anak-anak menjadi tertutup
dan
tidak dapat mendiskusikan masalah yang
dialami
d. Semangat belajar
dan
konsentrasi mereka menjadi lemah e.
Anak-anak
berusaha mencari kompensasi semu
4. Kekerasan
dalam rumah tangga
Kekerasan
dalam rumah tangga dapat dipicu oleh banyak
faktor.
Diantaranya ada faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan bisa juga disebabkan adanya salah satu orang
tua
dari kedua belah pihak, yang
ikut ambil andil dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang
disebabkan factor ekonomi, bisa digambarkan misalnya minimnya
penghasilan suami dalam
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga juga
bisa disebabkan tidak adanya rasa cinta pada diri
seorang suami kepada istrinya, karena mungkin perkawinan mereka terjadi dengan adanya perjodohan diantara mereka tanpa didasari dengan rasa cinta terlebih dahulu. Pada akhirnya hal tersebut membuat suami sering bersikap kasar
dan ringan tangan.
Untuk
menghadapi
situasi yang seperti ini, istri
butuh
kesabaran yang sangat amat besar.

2.2
Keadaan
Keluarga Broken Home
Tidak luput dari kenyataan yang ada bahwa semakin hari
semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya
mungkin disebabkan oleh perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup, atau
sebab-sebab lainnya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal
dari kedua belah pihak. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu
sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral.
Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami istri dalam keluarga
broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga menjadi alasan bagi
pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam
beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan
personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik
antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor kejiwaan termuat di
dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini
seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu,
sangatlah penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara
kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan
kepribadianlah yang menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya.
Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab
itu saling pengertian antarpasangan juga sangatlah penting.
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya
komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam
hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri
pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial
termasuk pengabaian afektif. Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam
keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling
menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara
satu pasangan dengan pasangannya.
Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada
perkembangan kejiwaan anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini
sangat rentan. Masa remaja, seperti yang dikatakan
oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas.
Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam
penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase
kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal
ini dikarenakan adanya pengabaian dari orangtuanya. Lebih jauh, terdapat
sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam
kepribadian anak.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan
organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga
merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di
dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai
tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak
akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan
tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak
dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar
yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi
keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya
orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alasan untuk
menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas
keberadaannya, karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan
hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam.
Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur
seluruh kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi
seorang wanita pekerja dengan beralih membantu perekonomian keluarga ataupun
berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak
ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh
empat jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa
jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja
di luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang
seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan
tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi
dengan baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka
memilih untuk bercerai. Namun, di saat orang tua dapat mempertahankan
keluarganya secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota
keluarganya, secara psikologis merekapun bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk
berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orang
tua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun
tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke
sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orangtua hanya cukup memberikan
pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga juga.
Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya,
tanpa mereka sadari bahwa orangtualah yang selalu membuat anak harus mengerti
keadaan orang tuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak
yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari
keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan
berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan
ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak
menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi
kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan,
teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun
dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah
disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung
dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan
sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan
keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan
perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut
menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya,
dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak
menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman,
kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak
dan membantu anak dalam menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus
ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma
adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih
usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan
anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai
mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan
kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan
teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya
supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang
sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta
kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki
karakter mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli
terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika
bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian
orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak
memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
2.3
Penyebab Broken Home
1.
Terjadinya perceraian
Faktor pertama adanya disorientasi tujuan suami istri
dalam membangun mahligai rumah tangga; faktor kedewasaan yang mencakup
intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai
masalah keluarga; pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.
2.
Ketidak dewasaan sikap orang tua
Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat
dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia
yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang
menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala
cara.
3.
Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung
jawab
Tidak bertanggungjawabnya orang tua salah satunya
masalah kesibukan. Kesibukan adalah satu kata yang telah melekat pada
masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi
yaitu harta dan uang.
4.
Jauh dari Tuhan
Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan
karena dia jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik.
Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka
kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi.
5.
Adanya masalah ekonomi
Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan
dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat
memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau.
6.
Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara
orang tua dan anak
Kurang atau putus komunikasi diantara anggota
keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua
dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari
kurangnya komunikasi.
7.
Adanya masalah pendidikan
Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya
broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang
kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka.
Mengatasi Broken Home
1.
Berpikir positif
Peristiwa yang kita alami kita lihat dari sisi
positifnya. Karena di balik semua masalah pasti ada hikmah yang dapat kita
petik. Jadikan itu semua sebagai proses pembelajaran bagi kita sebagai remaja
menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan
kita ke jurang kehancuran, seperti memakai narkoba, minum-minuman keras, malah
sampai mencoba untuk bunuh diri.
2.
Jangan terjebak dengan situasi dan kondisi
Yang jelas, kita enggak boleh terjebak dengan situasi
dan menghakimi orangtua atau diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah
dengan keadaan ini. Alangkah baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima
itu semua dan mencoba menjadi lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar.
Sebaiknya sih kita bisa tegar dan mencoba bangkit untuk menghadapi cobaan ini.
Tetap berusaha itu kuncinya.
3.
Mencoba hal-hal baru
Tidak ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru,
asal bersifat positif dan dapat membentuk karakter positif di dalam diri kita.
Contohnya, mencoba hobi baru, seperti olahraga ekstrem (hiking, rafting,
skating atau olahraga alam) yang dapat membuat kita bisa lebih fresh (segar)
dan melupakan hal-hal yang buruk.
4.
Cari tempat untuk berbagi
Kita enggak sendirian lho, karena manusia adalah
makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain. Mencari tempat yang
tepat untuk berbagi adalah solusi yang cukup baik buat kita, contohnya teman,
sahabat, pacar, atau mungkin juga saudara. Ya… usahakan tempat kita berbagi itu
adalah orang yang dapat dipercaya dan kita bisa enjoy berkeluh kesah dengan
dia.
Beberapa hal di atas dapat dijadikan acuan buat kita
karena sebenarnya semua permasalahan itu ada solusinya.
5.
Jangan panic
Kita enggak bisa mengelak apabila itu terjadi pada
keluarga kita walaupun kita tidak menginginkannya. Enggak perlu panik ataupun
sampai depresi menghadapinya. Walaupun berat, kita juga musti bisa menerimanya
dengan bijak. Karena siapa sih yang mau hidup di tengah keluarga yang broken
home? Pasti semua anak enggak akan mau mengalaminya.
2.4
Dampak Broken Home dan
Perkembangan Remaja
1.
Perkembangan Emosi
Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman
subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian adalah
suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu.
Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak.
Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap
perkembangan emosi remaja:
a.
Perceraian orang tua membuat tempramen anak
terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu
membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari
perhatian orang tua / orang lain. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga
yang tumpang dan kurang serasi.
b.
Peristiwa perceraian itu menimbulkan
ketidakstabilan emosi.
c.
Ketidakberartian pada diri remaja akan mudah
timbul, sehingga dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah
pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini.
d.
Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh
orang tua, emosi marahnya akan mudah terpancing.
2.
Perkembangan Sosial Remaja
Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang
berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat.
Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan
sosial remaja adalah :
a.
Perceraian orang tua menyebabkan
ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri
menjadi takut untuk keluar dan bergaul dengan teman-teman.
b.
Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri
dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.
c.
Dampak bagi remaja putri yang tidak mempunyai
ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka
sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua terlalu aktif,
agresif dan genit.
3.
Perkembangan Kepribadian
Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik
terhadap perkembangan kepribadian remaja. Remaja yang orang tuannya bercerai
cenderung menunjukan ciri-ciri:
a.
Berperilaku nakal
b.
Mengalami depresi
c.
Melakukan hubungan seksual secara aktif
d.
Kecenderungan pada obat-obat terlarang
Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil
atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan
kepribadian remaja yang tidak sehat.
4.
Dampak Positif Akibat Broken
Home
Dalam hubungan nikah yang sudah sangat jelek, yang
pertengkarannya sudah sangat parah, kebanyakan anak-anak akan memilih supaya
mereka bercerai. Demi kesehatan jiwa anak-anak akan lebih tentram sewaktu
dilepaskan dari suasana seperti itu. Pada waktu orang tua tidak tinggal
bersama-sama dengan mereka rasanya lebih tenang karena tidak harus menyaksikan
pertengkatan. Akhirnya, mereka lebih mantap, lebih damai hidupnya, dan lebih
bisa berhubungan dengan orang tuanya sacara lebih sehat.
Ada sisi positif dari anak korban perceraian,
misalnya anak cepat dewasa, punya rasa tanggungjawab yang baik, bisa membantu
ibunya. Memang ada anak yang bisa jadi nakal luar biasa, tapi ada yang
kebalikannya justru menjadi anak yang sangat baik dan bertanggungjawab.
Anak-anak ini akhirnya didorong kuat untuk mengambil
alih peran orang tua yang tidak ada lagi dalam keluarganya. Secara luar kita
melihat sepertinya baik menjadi dewasa, tapi sebetulnya secara kedewasaan tidak
terlalu baik karena dia belum siap untuk mengambil alih peran orang tuanya itu.
2.5
Realita Remaja yang Mengalami
broken Home
Beberapa penyebab broken home yang paling sering
terjadi adalah kurangnya komunikasi antar keluarga sehingga menyebabkan adanya
jarak dianatara mereka. Jarak tersebut semakin terasa ketika rasa
ketidakpercayaan dan komitmen awal pernikahan mulai terkikis. Seiring
berjalannya waktu, hal ini berkembang menjadi sebuah perselisihan dan
ketidakharmonisan yang memuncak.
Penyebab kedua yang sering menyebabkan terjadinya
broken home adalah masalah ekonomi yang berujung pada kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Kedua penyebab tersebut paling banyak menghasilkan
keluarga-keluarga broken home yang berakhir pada perceraian atau pertengkaran
tanpa akhir.
Sebagai korban, tentunya anak-anak akan merasakan
hal-hal yang tidak mengenakan. Perasaan ini timbul dan berkembang dalam diri si
anak hingga ia beranjak dewasa. Pada fase remaja, dimana jiwa remaja sedang
bergelora, perasaan ini bercampur aduk menjadi satu baik depresi, malu, sedih,
kecewa, kesal, sakit hati, bingung, merasa terbuang, dll.
Cara para remaja menghilangkan kepenatan tersebut
baik ke arah positif atau negatif ternyata bersifat relatif. Hal ini tergantung
pada sikap dan perilaku remaja tersebut. Jika dia bisa mengarahkan ke arah
positif, berarti dia berhasil mengurangi bahkan menghilangkan perasaan
tersebut. Bila sebaliknya, berarti dia gagal. Cara-cara yang dilakukan untuk
menghilangkan kepenatan tersebut pastinya akan melahirkan perubahan sikap dalam
diri remaja yang mengalami broken home. Sebuah perubahan yang akan membawa
mereka merasa lebih baik dari sebelumnya, sementara atau selamanya.
BAB
III
PENELITIAN
RELEVAN DAN KERANGKA PIKIR
3.1 Penelitian
Relevan
Sarah
Siti Zakiah (2010:77) Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi keluarga broken
home merupakan kondisi keluarga yang tidak harmonis, tidak berjalan
layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera. Konsep diri dari remaja broken
home menunjukkan bahwa mereka berperilaku sesuai dengan penilaian terhadap
diri mereka sendiri, yaitu remaja yang berasal dari keluarga tidak harmonis.
Selain itu remaja broken home dan orang tua menyadari pentingnya
komunikasi dalam keluarga, namun pada kenyataannya hal tersebut dapat
terealisasikan.
Aswendo
Dwintatianov (2012:58) Dari semua
interpretasi peneliti terhadap sikap dan asumsi subjek dalam menghadapi masalah
broken home yang menghadapi keluarganya dapat ditarik sebuah esensi bahwa pada
dasarnya anak yang berada dalam keuarga broken home akan mengalami konfliks
psikologis terhadap perubahan situasi yang terjadi dalam keluarganya. Konfliks
ini berlanjut dengan munculnya rasa ketidakpercayaan dasar yang mengarahkan
pada pembentukan rasa sedih dan kecewa terhadap orangtua yang menyebabkan
broken home (dalam kasus ini ayah) sebagai kompensasi atas ketidakkonsistenan
sikap ayah dalam mengayomi keluarga yang nantinya meluas menjadi rasa benci dan
dendam.
M. Nisfiannoor, Eka Yulianti
(2005: Dari segi dimensi agresivitas secara fisik dan verbal, diketahui bahwa
remaja yang berasal dari keluarga bercerai juga lebih agresif dibandingkan
remaja yang berasal dari keluarga utuh. Demikian dapat dikatakan bahwa remaja
yang berasal dari keluarga bercerai lebih agresif, baik secara fisik maupun
verbal bila dibandingkan dengan remaja dari keluarga yang utuh. Timbulnya perilaku agresif pada remaja bisa terjadi karena
berbagai faktor, faktor keluarga merupakan salah satu aspek penting yang
disinyalir terkait dengan pola perilaku agresif remaja. Dari beberapa kajian
mengenai perilaku agresif remaja tumbuh dan dibesarkan pada keluarga bercerai
dan keluarga utuh.
Sujoko (2006:71) Masa transisi remaja dapat menimbulkan masa
krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku
menyimpang atan kenakalan (Juvenile Delinquency).
Ivadhias Swastika (2010)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa subjek memiliki resiliensi
baik,hal ini dapat dilihat melalui kemampuan subjek untuk meregulasi emosi,
mengendalikan impulsimpuls negatif yang muncul, seorang individu yang optimis,
mampu berempati, memiliki harapan dan keyakinan yang kuat untuk bangkit,
memiliki efikasi diri yang baik, serta aspek-aspek positif dalam hidupnya
meningkat. Hal ini juga didukung oleh faktor-faktor dari dalam diri dan dari
luar diri subjek yang mempengaruhi subjek untuk menjadi seorang yang resilien.
Faktor-faktor dari luar diri subjek antara lain hubungan sosial yang baik
antara subjek dengan orangtua dan lingkungan sekitarnya, mendapatkan dukungan
yang positif dari orang-orang disekitarnya, sedangkan faktor dari dalam diri
subjek yaitu memiliki perasaan dicintai dan mampu untuk mencintai orang lain,
menjalin hubungan baru, dan mampu berempati. Subjek juga memiliki keyakinan dan
harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang, sehingga mampu bangkit
dari kondisi sulit dan pengalaman emosional negatif yang dialaminya.
Thanks gan udah share , blog ini sangat bermanfaat .............................
BalasHapusbisnistiket.co.id