Rabu, 29 Mei 2013

Karakter Pendidikan Anak Keluarga Broken Home

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
     Disaat seorang akan berkeluarga, yang terbayang dibenaknya adalah terwujudnya keluarga sakinah, keluarga bahagia yang tentram, damai dan harmonis. Manusia yang ingin berkeluarga harus melalui perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Bab I Pasal 1 sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai makhluk sosial, mungkin tak jarang kita temui dikota Kendari sebagai anak remaja yang frustasi atau depresi karena beragam masalah yang muncul dengan alasan, faktor utama adalah orang tua. Sebagai remaja, tentunya kita tak asing lagi dengan kata “Broken Home” atau keluarga yang tidak harmonis. Kata inilah yang biasanya menyelimuti rasa takut para remaja saat ini, ketika kedua orang tua mereka sedang berbeda pendapat atau berselisih paham.
Istilah "broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua kita tak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak di masyarakat. Namun, broken home bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi inii menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak-anak. Bisa saja anak menjadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan.
Selain itu Broken Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang pelajar hal inilah yang mengakibatkan seorang pelajar tidak mempunyai minat untuk berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena mereka ingin cari simpati pada teman-teman mereka bahkan pada guru-guru mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini perlu diberikan perhatian dan pengerahan yang khusus agar mereka sadar dan mau berprestasi.
Maka remaja merupakan masa dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan perhatian dan bantuandari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah diketahui bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut.
Menurut WHO remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang dari menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan psikologis danpola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative lebih mandiri.
Orang tua sekarang ini hanya memberikan kebutuhan materi kepada anaknya, sehingga mereka menjadi pribadi yang tidak lengkap. Hal ini dimungkinkan oleh kesibukan-kesibukan orang tua terutama yang berdiam di kota Kendari dan atau ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anak. Sebaliknya orang tua yang bermukim di pedesaan mereka banyak yang berpendidikan rendah dengan bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik dan buruh bangunan. Penghasilan mereka sangat minim sekali, sehingga untuk mencukupi kebutuhan keluarga sangat kurang. Hal seperti itu mengakibatkan keluarga mereka selalu ada pertengkaran (kurang harmonis) dan akhirnya anak-anak mereka kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua.
Dengan demikian menujukkan betapa pentingnya situasi dan kondisi kehidupan dalam keluarga. Anak yang berlatar belakang dari keluarga yang berhubungan akrab, penuh kasih sayang dan menerapkan disiplin berdasarkan kecintaan. Anak atau remaja yang berasal dari keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengekspresikan perasaan, lebih penakut dan lebih sulit mengontrol dari pada anak dari keluarga utuh.
Selain sekolah dan masyarakat, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan. Karena lembaga pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota keluarga lainnya. Untuk itu dalam Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh berakal.
Sebenarnya yang banyak terjadi dalam konflik keluarga adalah mereka yang mengalami kesulitan, ketidak harmonisan dalam keluarga atau kehilangan kebahagiaan. Tentunya sebab ketidakbahagiaan itu bermacam-macam pula, ada yang disebabkan oleh karena kehilangan kesetiaan salah seorang suami atau istri. Dalam hal ini istrilah yang banyak menderita, karena merasa suaminya tidak setia lagi kepadanya.
Dalam segi pendidikan anak pun sangat berpengaruh, kehilangan jati diri yang membuat anak stres dengan konflik intern keluarganya sehingga prestasi dalam sekolahnya pun mengalami penurunan baik akademik maupun non akademik.
Melihat kedua orang tuanya sering bertangkar dihadapannya dan hidup dalam keluarga yang tidak nyaman membuat siswa tersebut kehilangan semangat dalam hidupnya. Ia akan merasa impian dan harapan yang sudah ia rencanakan hilang begitu saja. Tentang hasil belajar, hal ini sangat penting disampaikan, karena prestasi belajar merupakan indikator sebagai tingkat keberhasilan seorang siswa atau anak didik setelah mengikuti proses belajar mengajar, bahwa prestasi belajar itu merupakan hasil yang dicapai atau hasil yang sebenarnya dicapai. Disekolah siswa korban keluarga broken home sering diindikasikan dengan memperlihatkan prilaku malas, bolos dan tidak memiliki niat untuk belajar. Bagi guru persoalan siswa jenis ini sangat sulit untuk bisa membangkitkan bakanya apalagi jika guru sama sekali tidak memahami latar belakang siswa.

1.2    Rumusan Masalah
              Berawal dari latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
a.       Bagaimana kondisi keluarga broken home siswa ?
b.      Bagaimana prilaku anak keluarga broken home dimasyarakat ?

1.3    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk menganalisis bagaimana kondisi keluarga broken home siswa ?
b.      Untuk menganalisis bagaimana karakter anak keluarga broken home disekolah ?

1.4    Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian, meliputi ?
a.       Manfaat praktis
1.      Menjadi bahan masukan kepada guru dan orang tua dalam mengontrol perkembangan psikologi anak yang dapat dipengaruhi oleh factor dari luar dirinya untuk menjaga minat dan potensinya.
2.      Sebagai input untuk sekolah dalam mendidik dan membantu anak dari keluarga broken home.
b.      Manfaat teoritis, diharapkan melalui penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan karena temuan dalam penelitian ini adalah temuan yang telah didukung oleh kerangka teoritis dan fakta empiris yang diuji dengan metode ilmiah. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan informasi dan bahan rujukan bagi peneliti yang melakukan penelitian yang relevan dikemudian hari.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1       Awal Mula Keluarga Broken Home
Broken home diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Yang dimaksud keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua aspek: (1) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau telah bercerai, (2) orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Dari keluarga yang digambarkan diatas, akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian, sehingga perilakunya sering salahsuai. Mereka mengalami gangguan emosional dan bahkan neurotic. (Willis, 2008:66)
Keadaan rumah tangga yang berantakan dapat membawa pengaruh psikologis buruk bagi perkembangan mental dan pendidikan anak. Karena dasar pribadi anak terutama dibentuk dalam lingkungan keluarga. Jika kehilangan salah satu dari kedua orang tua atau kehilangan keduannya karena meninggal maupun bercerai dan lain- lainnya, menyebabkan anak kehilangan contoh model orang dewasa. Kehilangan kasih sayang, kehilangan pendidik atau pemimbing yang sangat ia butuhkan. Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan remaja, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tua memengaruhi perkembangan si anak. Keadaan yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken home semu” atau quasi broken home, yaitu kondisi dimana kedua orang tuanya masing utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga (ayah dan ibu) memunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya. Dalam situasi keluarga yang demikian anak muda mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat dengan mudah mendorong anak menjadi delinkuen. (Sudarsono, 2004: 126)
Tim peneliti dari Newcastle University mengatakan, "Gadis yang dalam awal tahun hidupnya terpisah dari ibunya, rata-rata menikah dua tahun lebih cepat ketimbang mereka yang berasal dari keluarga harmonis. Sedangkan gadis yang kurang dekat atau harus berjauhan dengan ayahnya, biasanya memulai hidup berumah tangga setahun lebih awal". 1
Lebih lanjut dipaparkan oleh Marieke van de Rakt melalui hasil penelitiannya bahwa "Setiap tahun seorang anak punya peluang sekitar 1% untuk melakukan sesuatu yang kurang baik. Kalau orang tuanya bercerai, kemungkinan itu meningkat tiga kali lipat. Dengan kata lain, seorang anak punya peluang 3% untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, penyebabnya bermacam-macam faktor. Namun yang jelas, suatu perceraian sangat berdampak pada kehidupan sebuah rumah tangga akibat suasana yang tidak tentram, emosi anak-anak sering terganggu. Dari informasi-informasi tersebut kiranya makin jelas bahwa keharmonisan keluarga mempuyai peranan yang sangat dominan dalam pembentukan kepribadian sang anak. Tetapi kenyataannya kondisi keluarga broken home kerap sulit dihindarkan ketika konflik dalam rumah tangga terjadi. Menurut Willis dalam bukunya yang berjudul Konseling Keluarga (Family Counseling), adapun konflik yang dapat menyebabkan kondisi broken home diantaranya:

1.    Kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama ayah dan ibu
Dalam hal ini, faktor kesibukan yang sering menjadi penyebab utama. Ayah dan ibu sibuk bekerja hingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk anaknya mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, shalat berjamaah dirumah di mana ayah menjadi imam, sedang anggota menjadi jamaah. Di meja makan dan di tempat shalat berjamaah, banyak hal yang bisa ditanyakan ayah atau ibu kepada anak-anak seperti pelajaran sekolah, teman di sekolah, kesedihan dan kesenangan yang dialami anak. Dan anak-anak akan mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran-pemikirannya tentang kebaikan keluarga, termasuk kritik terhadap orang tua mereka. Namun yang sering terjadi adalah orang tua terlalu sibuk dengan urusannya dan tiba di rumah dengan keadaan lelah. Hal tersebut tentu membuat orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan anak-anaknya. lama kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, dan memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu yang membahayakan dirinya. (Willis, 2008:14)
Olson berpendapat bahwa komunikasi interpersonal dalam keluarga mengandung beberapa aspek keterampilan yaitu :
a.    Aspek keterampilan mendengar atau listening skills, yaitu meliputi kemampuan berempati dan mendengar dengan penuh perhatian
b.    Aspek keterampilan berbicara atau speaking skills, yaitu meliputi berbicara untuk diri sendiri dan tidak untuk berbicara untuk orang lain.
c.    Keterbukaan diri atau self disclosure
d.   Aspek kejelasan atau Clarity
e.    Aspek kontinuitas atau continuity tracking, yaitu kemampuan seseorang untuk tetap bertahan dalam suatu topik pembicaraan
f.     Aspek respek atau respect
g.    Aspek hormat atau regard
2.      Sikap egosentrisme
Sikap egosentrisme masing-masing suami isteri merupakan penyebab pula terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran yang terus menerus. Egoism adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan diri sendiri. Yang lebih berbahaya lagi adalah sifat egosentrisme, yaitu sifat yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan seseorang dengan segala cara. Bagi tipe orang seperti ini, orang lain dianggap tidak penting. Dia hanya mementingkan diri sendiri, dan hanya memikirkan bagaimana agar orang lain mau mengikuti apa yang dikehendakinya.
3.      Masalah ekonomi
Rumah tangga akan berjalan stabil dan harmonis bila didukung oleh kecukupan dan kebutuhan hidup, segala keperluan dan kebutuhan rumah tangga dapat stabil bila telah terpenuhi keperluan hidup (ekonomi). Membina dan mengayuh bahtera rumah tangga tidak sebatas memodalkan cinta dan kasih sayang namun faktor ekonomi mempunya pengaruh. Sehingga terjadi problema rumah tangga, faktor dominan adalah masalah ekonomi, dimana pihak suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, padahal pemenuhan biaya hidup merupakan hal yang prinsip.
Kestabilan ekonomi atau biaya hidup keluarga tidak bisa diremehkan, atau hanya bersikap pasrah dan menerima apa adanya. Apalagi ia merupakan penunjang dan penentu terwujudnya keluarga sakinah. Tidak sedikit basis gagalnya menciptakan rumah tangga sakinah dan bahkan menjadi retak serta berantakan dikarenakan kondisi ekonomi dalam rumah tangga tersebut kurang stabil.
Dalam hal ini ada dua penyebab masalah ekonomi, yaitu:
a.    Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi keluarga broken home. Hal ini timbul karena kondisi emosional keluarga yang tidak dewasa dalam menghadapi masalah, dikarenakan bagian dari keluarga tersebut menuntut hal-hal diluar kebutuhan rumah tangga mereka sedangkan suami tidak dapat memenuhi tuntutan dari istri dan anak anaknya sehingga pertengkaran suami istri terjadi dan timbullah konflik yang menggangu keharmonisan di dalam keluarga tersebut.
c.       Gaya hidup
Berbeda dengan keluarga miskin, maka keluarga kaya lebih mengedepankan gaya hidup internasional, serba mewah dan mengikuti mode dunia. Namun gaya hidup tersebut tidak selalu disukai oleh kedua belah pihak. Terkadang tidak semua suami menyukai gaya hidup glamour ataupun sebaliknya. Disinilah awal pertentangan suami istri dan pada akhirnya pertengkaran tersebut dapat menimbulkan krisis dalam keluarga. (Willis, 2008:16)
Howard markman, direktur pusat penelitian perkawinan dan keluarga di universitas Denver, Amerika, berpendapat bahwa uang merupakan masalah nomor satu yang sering dipertengkarkan para pasangan suami istri. Itu berarti setiap keluarga entah kelompok yang berkelimpahan atau yang berpenghasilannya pas-pasan, selalu rawan terhadap perselisihan gara-gara uang.
4.      Masalah kesibukan
Kesibukan yang dimaksud adalah terfokusnya suami istri dalam pencarian materi yaitu harta dan uang. (Willis, 2008:18 ) Setiap pasangan mulai mempunyai kesibukan masing-masing, berupa pekerjaan yang seakan- akan tidak ada habisnya. Hampir keseluruhan energi dihabiskan ditempat kerja. Hampir separuh waktu dihabiskan diluar jam keluarga dan kelelahan setiba dirumah juga digunakan untuk beristirahat sehingga perhatian terhadap keluarga menjadi berkurang.
5.      Masalah pendidikan
Masalah pendidikan merupakan penyebab terjadinya krisis dalam keluarga. Jika kedua belah pihak memiliki pendidikan yang memadai, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami-istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami dan mengatasi liku-liku keluarga, karena itu yang sering terjadi adalah saling menyalahkan bila terjadi persoalan dalam keluarga. Terkadang konflik akan sulit diselesaikan apabila masing- masing dari komponen keluarga memiliki pengetahuan yang minim mengenai cara bagaimana menjaga hubungan dengan baik dalam sebuah keluarga.
6.      Masalah perselingkuhan
Pada dasarnya, perkawinan merupakan aktivitas yang dilakukan oleh suami dan istri. Oleh karena itu, dalam perkawinan mereka mempunyai tujuan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga dikatakan bahagia apabila dalam keluarga itu tidak terjadi konflik terus menerus atau ketegangan-ketegangan yang dapat menimbulkan pertengkaran- pertengkaran,      sehingga keluarga berjalan "smooth" tanpa goncangan goncangan yang berarti (free from quarelling).
7.      Jauh dari agama
Agama merupakan pondasi yang dapat mengontrol perilaku seseorang. Dengan berpegang teguh pada agama, maka orang tersebut dapat mebedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi sebaliknya, apabila individu- individu di dalam sebuah keluarga jauh dari agama, maka hal-hal negatif akan lebih rawan terjadi. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga.
Disamping itu, penyebab lain timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
1.    Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
2.      Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak.
3.      Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih beratnya dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri. Suasana perang dingin dapat menimbulkan :
a.       Rasa takut dan cemas pada anak-anak
b.      Anak-anak menjadi tidak betah dirumah sebab merasa tertekan dan bingung serta tegang
c.       Anak-anak menjadi tertutup dan tidak dapat mendiskusikan masalah yang dialami
d.      Semangat belajar dan konsentrasi mereka menjadi lemah e. Anak-anak berusaha mencari kompensasi semu
4.      Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu oleh banyak faktor. Diantaranya ada faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan bisa juga disebabkan adanya salah satu orang tua dari kedua belah pihak, yang ikut ambil andil dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan factor ekonomi, bisa digambarkan misalnya minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa disebabkan tidak adanya rasa cinta pada diri seorang suami kepada istrinya, karena mungkin perkawinan mereka terjadi dengan adanya perjodohan diantara mereka tanpa didasari dengan rasa cinta terlebih dahulu. Pada akhirnya hal tersebut membuat suami sering bersikap kasar dan ringan tangan. Untuk menghadapi situasi yang seperti ini, istri butuh kesabaran yang sangat amat besar.

2.2       Keadaan Keluarga Broken Home
Tidak luput dari kenyataan yang ada bahwa semakin hari semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup, atau sebab-sebab lainnya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal dari kedua belah pihak. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor kejiwaan termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu, sangatlah penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadianlah yang menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya. Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab itu saling pengertian antarpasangan juga sangatlah penting.
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif. Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara satu pasangan dengan pasangannya.
Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan kejiwaan anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian dari orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita pekerja dengan beralih membantu perekonomian keluarga ataupun berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh empat jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih untuk bercerai. Namun, di saat orang tua dapat mempertahankan keluarganya secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara psikologis merekapun bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orang tua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orangtua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga juga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orangtualah yang selalu membuat anak harus mengerti keadaan orang tuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu anak dalam menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.

2.3       Penyebab Broken Home
1.    Terjadinya perceraian
Faktor pertama adanya disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga; faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, dan kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga; pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.
2.      Ketidak dewasaan sikap orang tua
Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara.
3.      Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab
Tidak bertanggungjawabnya orang tua salah satunya masalah kesibukan. Kesibukan adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi yaitu harta dan uang.
4.      Jauh dari Tuhan
Segala sesuatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi.
5.      Adanya masalah ekonomi
Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberi makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau.
6.      Kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak
Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi.
7.      Adanya masalah pendidikan
Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka.
Mengatasi Broken Home

1.    Berpikir positif
Peristiwa yang kita alami kita lihat dari sisi positifnya. Karena di balik semua masalah pasti ada hikmah yang dapat kita petik. Jadikan itu semua sebagai proses pembelajaran bagi kita sebagai remaja menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita ke jurang kehancuran, seperti memakai narkoba, minum-minuman keras, malah sampai mencoba untuk bunuh diri.
2.      Jangan terjebak dengan situasi dan kondisi
Yang jelas, kita enggak boleh terjebak dengan situasi dan menghakimi orangtua atau diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah dengan keadaan ini. Alangkah baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima itu semua dan mencoba menjadi lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar. Sebaiknya sih kita bisa tegar dan mencoba bangkit untuk menghadapi cobaan ini. Tetap berusaha itu kuncinya.
3.      Mencoba hal-hal baru
Tidak ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru, asal bersifat positif dan dapat membentuk karakter positif di dalam diri kita. Contohnya, mencoba hobi baru, seperti olahraga ekstrem (hiking, rafting, skating atau olahraga alam) yang dapat membuat kita bisa lebih fresh (segar) dan melupakan hal-hal yang buruk.
4.      Cari tempat untuk berbagi
Kita enggak sendirian lho, karena manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain. Mencari tempat yang tepat untuk berbagi adalah solusi yang cukup baik buat kita, contohnya teman, sahabat, pacar, atau mungkin juga saudara. Ya… usahakan tempat kita berbagi itu adalah orang yang dapat dipercaya dan kita bisa enjoy berkeluh kesah dengan dia.
Beberapa hal di atas dapat dijadikan acuan buat kita karena sebenarnya semua permasalahan itu ada solusinya.
5.      Jangan panic
Kita enggak bisa mengelak apabila itu terjadi pada keluarga kita walaupun kita tidak menginginkannya. Enggak perlu panik ataupun sampai depresi menghadapinya. Walaupun berat, kita juga musti bisa menerimanya dengan bijak. Karena siapa sih yang mau hidup di tengah keluarga yang broken home? Pasti semua anak enggak akan mau mengalaminya.
2.4       Dampak Broken Home dan Perkembangan Remaja
1.    Perkembangan Emosi
Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak.
Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja:
a.    Perceraian orang tua membuat tempramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua / orang lain. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi.
b.    Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi.
c.    Ketidakberartian pada diri remaja akan mudah timbul, sehingga dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini.
d.   Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua, emosi marahnya akan mudah terpancing.
2.    Perkembangan Sosial Remaja
Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat.
Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan sosial remaja adalah :
a.    Perceraian orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk keluar dan bergaul dengan teman-teman.
b.    Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.
c.    Dampak bagi remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit.
3.    Perkembangan Kepribadian
Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap perkembangan kepribadian remaja. Remaja yang orang tuannya bercerai cenderung menunjukan ciri-ciri:
a.    Berperilaku nakal
b.    Mengalami depresi
c.    Melakukan hubungan seksual secara aktif
d.   Kecenderungan pada obat-obat terlarang
Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat.
4.    Dampak Positif Akibat Broken Home
Dalam hubungan nikah yang sudah sangat jelek, yang pertengkarannya sudah sangat parah, kebanyakan anak-anak akan memilih supaya mereka bercerai. Demi kesehatan jiwa anak-anak akan lebih tentram sewaktu dilepaskan dari suasana seperti itu. Pada waktu orang tua tidak tinggal bersama-sama dengan mereka rasanya lebih tenang karena tidak harus menyaksikan pertengkatan. Akhirnya, mereka lebih mantap, lebih damai hidupnya, dan lebih bisa berhubungan dengan orang tuanya sacara lebih sehat.       
Ada sisi positif dari anak korban perceraian, misalnya anak cepat dewasa, punya rasa tanggungjawab yang baik, bisa membantu ibunya. Memang ada anak yang bisa jadi nakal luar biasa, tapi ada yang kebalikannya justru menjadi anak yang sangat baik dan bertanggungjawab.
Anak-anak ini akhirnya didorong kuat untuk mengambil alih peran orang tua yang tidak ada lagi dalam keluarganya. Secara luar kita melihat sepertinya baik menjadi dewasa, tapi sebetulnya secara kedewasaan tidak terlalu baik karena dia belum siap untuk mengambil alih peran orang tuanya itu.

2.5       Realita Remaja yang Mengalami broken Home
Beberapa penyebab broken home yang paling sering terjadi adalah kurangnya komunikasi antar keluarga sehingga menyebabkan adanya jarak dianatara mereka. Jarak tersebut semakin terasa ketika rasa ketidakpercayaan dan komitmen awal pernikahan mulai terkikis. Seiring berjalannya waktu, hal ini berkembang menjadi sebuah perselisihan dan ketidakharmonisan yang memuncak.
Penyebab kedua yang sering menyebabkan terjadinya broken home adalah masalah ekonomi yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kedua penyebab tersebut paling banyak menghasilkan keluarga-keluarga broken home yang berakhir pada perceraian atau pertengkaran tanpa akhir.
Sebagai korban, tentunya anak-anak akan merasakan hal-hal yang tidak mengenakan. Perasaan ini timbul dan berkembang dalam diri si anak hingga ia beranjak dewasa. Pada fase remaja, dimana jiwa remaja sedang bergelora, perasaan ini bercampur aduk menjadi satu baik depresi, malu, sedih, kecewa, kesal, sakit hati, bingung, merasa terbuang, dll.
Cara para remaja menghilangkan kepenatan tersebut baik ke arah positif atau negatif ternyata bersifat relatif. Hal ini tergantung pada sikap dan perilaku remaja tersebut. Jika dia bisa mengarahkan ke arah positif, berarti dia berhasil mengurangi bahkan menghilangkan perasaan tersebut. Bila sebaliknya, berarti dia gagal. Cara-cara yang dilakukan untuk menghilangkan kepenatan tersebut pastinya akan melahirkan perubahan sikap dalam diri remaja yang mengalami broken home. Sebuah perubahan yang akan membawa mereka merasa lebih baik dari sebelumnya, sementara atau selamanya.



BAB III
PENELITIAN RELEVAN DAN KERANGKA PIKIR

3.1    Penelitian Relevan
Sarah Siti Zakiah (2010:77) Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi keluarga broken home merupakan kondisi keluarga yang tidak harmonis, tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera. Konsep diri dari remaja broken home menunjukkan bahwa mereka berperilaku sesuai dengan penilaian terhadap diri mereka sendiri, yaitu remaja yang berasal dari keluarga tidak harmonis. Selain itu remaja broken home dan orang tua menyadari pentingnya komunikasi dalam keluarga, namun pada kenyataannya hal tersebut dapat terealisasikan.
Aswendo Dwintatianov (2012:58) Dari semua interpretasi peneliti terhadap sikap dan asumsi subjek dalam menghadapi masalah broken home yang menghadapi keluarganya dapat ditarik sebuah esensi bahwa pada dasarnya anak yang berada dalam keuarga broken home akan mengalami konfliks psikologis terhadap perubahan situasi yang terjadi dalam keluarganya. Konfliks ini berlanjut dengan munculnya rasa ketidakpercayaan dasar yang mengarahkan pada pembentukan rasa sedih dan kecewa terhadap orangtua yang menyebabkan broken home (dalam kasus ini ayah) sebagai kompensasi atas ketidakkonsistenan sikap ayah dalam mengayomi keluarga yang nantinya meluas menjadi rasa benci dan dendam.
M. Nisfiannoor, Eka Yulianti (2005: Dari segi dimensi agresivitas secara fisik dan verbal, diketahui bahwa remaja yang berasal dari keluarga bercerai juga lebih agresif dibandingkan remaja yang berasal dari keluarga utuh. Demikian dapat dikatakan bahwa remaja yang berasal dari keluarga bercerai lebih agresif, baik secara fisik maupun verbal bila dibandingkan dengan remaja dari keluarga yang utuh. Timbulnya perilaku agresif pada remaja bisa terjadi karena berbagai faktor, faktor keluarga merupakan salah satu aspek penting yang disinyalir terkait dengan pola perilaku agresif remaja. Dari beberapa kajian mengenai perilaku agresif remaja tumbuh dan dibesarkan pada keluarga bercerai dan keluarga utuh.
Sujoko (2006:71) Masa transisi remaja dapat menimbulkan masa krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang atan kenakalan (Juvenile Delinquency).
Ivadhias Swastika (2010) Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa subjek memiliki resiliensi baik,hal ini dapat dilihat melalui kemampuan subjek untuk meregulasi emosi, mengendalikan impulsimpuls negatif yang muncul, seorang individu yang optimis, mampu berempati, memiliki harapan dan keyakinan yang kuat untuk bangkit, memiliki efikasi diri yang baik, serta aspek-aspek positif dalam hidupnya meningkat. Hal ini juga didukung oleh faktor-faktor dari dalam diri dan dari luar diri subjek yang mempengaruhi subjek untuk menjadi seorang yang resilien. Faktor-faktor dari luar diri subjek antara lain hubungan sosial yang baik antara subjek dengan orangtua dan lingkungan sekitarnya, mendapatkan dukungan yang positif dari orang-orang disekitarnya, sedangkan faktor dari dalam diri subjek yaitu memiliki perasaan dicintai dan mampu untuk mencintai orang lain, menjalin hubungan baru, dan mampu berempati. Subjek juga memiliki keyakinan dan harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang, sehingga mampu bangkit dari kondisi sulit dan pengalaman emosional negatif yang dialaminya.

1 komentar:

  1. Thanks gan udah share , blog ini sangat bermanfaat .............................



    bisnistiket.co.id

    BalasHapus